etimologi
Menurut Kamus Online Universitas Gadjah Mada , istilah “jancuk, jancok, diancuk, diancok, cuk, atau cok”
didefinisikan sebagai “sialan, keparat, brengsek (ungkapan berupa
perkataan umpatan untuk mengekspresikan kekecewaan atau bisa juga
digunakan untuk mengungkapkan ekspresi keheranan atas suatu hal yang
luar biasa)”.
Kata ini memiliki sejarah yang masih rancu. Kemunculannya banyak
ditafsirkan karena adanya pelesetan oleh orang-orang terdulunya yang
salah tangkap dalam pemaknaannya, dimana versi-versi ini muncul dari
beberapa negara tetangga yang orang-orangnya mengucapkan kata yang
memiliki intonasi berbeda namun fon-nya hampir sama. Dikarenakan orang-orang dari beberapa negara tetangga tersebut mengucapkan kata yang hampir mirip kata jancok itu dengan ekspresi marah atau geram dan semacamnya, orang-orang Jawa dulu mengartikan kata jancok (menurut lidah orang Jawa) adalah kata makian.
Setidaknya terdapat empat versi asal-mula kata Jancok.
1.Versi kedatangan Arab
Salah satu versi asal-mula kata “Jancuk” berasal dari kata Da’Suk. Da’ artinya “meninggalkanlah kamu”, dan assyu’a
artinya “kejelekan”, digabung menjadi Da’Suk yang artinya
“tinggalkanlah keburukan”. Kata tersebut diucapkan dalam logat Surabaya
menjadi “Jancok”.
2.Versi penjajahan Belanda
Menurut Edi Samson, seorang anggota Cagar Budaya di Surabaya, istilah Jancok atau Dancok berasal dari bahasa Belanda “yantye ook”
yang memiliki arti “kamu juga”. Istilah tersebut popular di kalangan
Indo-Belanda sekitar tahun 1930-an. Istilah tersebut diplesetkan oleh
para remaja Surabaya untuk mencemooh warga Belanda atau keturunan
Belanda dan mengejanya menjadi “yanty ok” dan terdengar seperti
“yantcook”. Sekarang, kata tersebut berubah menjadi “Jancok” atau
“Dancok”.
3.Versi penjajahan Jepang
Kata “Jancok” berasal dari kata Sudanco berasal dari zaman romusha yang artinya “Ayo Cepat”. Karena kekesalan pemuda Surabaya pada saat itu, kata perintah tersebut diplesetkan menjadi “Dancok”.
4. Versi umpatan
Warga Kampung Palemahan di Surabaya memiliki sejarah oral bahwa kata “Jancok” merupakan akronim dari “Marijan ngencuk” (“Marijan berhubungan badan”). Kata encuk merupakan bahasa Jawa yang memiliki arti “berhubungan badan”[4], terutama yang dilakukan di luar nikah. Versi lain menyebutkan bahwa kata “Jancuk” berasal dari kata kerja “diencuk”. Kata tersebut akhirnya berubah menjadi “Dancuk” dan terakhir berubah menjadi “Jancuk” atau “Jancok”
Kata “Jancok” merupakan kata yang tabu digunakan oleh masyarakat Pulau Jawa secara umum karena memiliki konotasi negatif. Namun, penduduk Surabaya dan Malang menggunakan kata tersebut sebagai identitas komunitas mereka[1] sehingga kata “Jancok” memiliki perubahan makna ameliorasi (perubahan makna ke arah positif).
Sujiwo Tedjo mengatakan:[
Kata “Jancok” merupakan kata yang tabu digunakan oleh masyarakat Pulau Jawa secara umum karena memiliki konotasi negatif. Namun, penduduk Surabaya dan Malang menggunakan kata tersebut sebagai identitas komunitas mereka[1] sehingga kata “Jancok” memiliki perubahan makna ameliorasi (perubahan makna ke arah positif).
Sujiwo Tedjo mengatakan:[
- “Jancuk” itu ibarat sebilah pisau. Fungsi pisau sangat tergantung dari user-nya dan suasana psikologis si user. Kalau digunakan oleh penjahat, bisa jadi senjata pembunuh. Kalau digunakan oleh seorang istri yang berbakti pada keluarganya, bisa jadi alat memasak. Kalau dipegang oleh orang yang sedang dipenuhi dendam, bisa jadi alat penghilang nyawa manusia. Kalau dipegang orang yang dipenuhi rasa cinta pada keluarganya bisa dipakai menjadi perkakas untuk menghasilkan penghilang lapar manusia. Begitupun “jancuk”, bila diucapkan dengan niat tak tulus, penuh amarah, dan penuh dendam maka akan dapat menyakiti. Tetapi bila diucapkan dengan kehendak untuk akrab, kehendak untuk hangat sekaligus cair dalam menggalang pergaulan, “jancuk” laksana pisau bagi orang yang sedang memasak. “Jancuk” dapat mengolah bahan-bahan menjadi jamuan pengantar perbincangan dan tawa-tiwi di meja makan.(Sujiwo Tedjo, 2012, halaman x)
- Jancuk merupakan simbol keakraban. Simbol kehangatan. Simbol kesantaian. Lebih-lebih di tengah khalayak ramai yang kian munafik, keakraban dan kehangatan serta santainya “jancuk” kian diperlukan untuk menggeledah sekaligus membongkar kemunafikan itu. (Sujiwo Tejo. 2012 : 397)
0 komentar:
Posting Komentar